Berita  

Gelar Karya Pelajar Pancasila, BPIP Dorong Generasi Muda Wujudkan Nilai Kebajikan

Berita Pangandaran (isikata) – Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) bekerja sama dengan Komisi XIII DPR RI menggelar Gelar Karya Pelajar Pancasila dan Sosialisasi Relawan Kebajikan Pancasila di SMK Bakti Karya Parigi, Kabupaten Pangandaran, Jawa Barat, pada Minggu 10 Agustus 2025 kemarin.

Kegiatan ini dihadiri sejumlah tokoh, di antaranya Wakil Ketua DPRD Kabupaten Pangandaran Dede Sutiswa Atmaja.

Acara menampilkan beragam karya siswa, mulai dari miniatur rumah adat, kuliner khas daerah, pengenalan bahasa lokal, permainan tradisional, hingga pertunjukan tari, musik, teater, dan cerita rakyat berbahasa daerah. Sebelum pembukaan, pengunjung disuguhi hidangan khas lokal sambil berkeliling stand pameran dan menyaksikan penampilan Mop, cerita tradisional asal Papua.

Salah satu momen menarik adalah gelar karya “palang pintu” dari berbagai daerah seperti Betawi, Sunda, Flores, Sulawesi, dan Papua, yang dilakukan untuk menyambut kedatangan para narasumber. Tokoh yang hadir di antaranya Dr. (Tr.) Agun Gunandjar Sudarsa, Bc.IP., M.Si., Prof. Dr. Muhammad Sabri, M.Ag., Dede Sutiswa Nataatmaja, serta pakar pendidikan alternatif Deni Wahyu Jayadi.

Dalam sesi talkshow, para narasumber membahas relevansi Pancasila dalam kehidupan masyarakat, konteks bernegara, serta perjalanan Pancasila sebagai ideologi bangsa. Agun Gunandjar menegaskan, Pancasila bukan sekadar hafalan, melainkan panduan hidup untuk menjadi manusia merdeka dan berdaulat. Ia memperkenalkan konsep “Salam Lima Jari” sebagai simbol makna Pancasila yang melekat pada diri manusia.

Direktur Pengkajian BPIP, Prof. Dr. Muhammad Sabri, M.Ag., menyebut Pancasila sebagai “ruh kebangsaan” yang memberi jiwa pada persatuan Indonesia. Mengutip Sukarno, Sabri mengingatkan bahwa esensi Pancasila adalah gotong royong, namun ia menambahkan perspektif pribadi bahwa inti terdalam Pancasila adalah cinta. Pernyataan tersebut disambut riuh lebih dari 300 peserta, mayoritas pelajar.

Sementara itu, Deni WJ menyoroti peran permainan tradisional sebagai bentuk hadirnya nilai Pancasila di kehidupan sehari-hari. Ia bahkan mengajak peserta untuk bermain bersama, dipandu oleh sang anak dan grup kesenian Ki Pamanah Rasa.

Kepala Sekolah SMK Bakti Karya Parigi, Jujun Junaedi , menegaskan bahwa kegiatan ini bukan sekadar pameran karya, tetapi wujud nyata aksi pelajar Pancasila yang mencerminkan iman, toleransi, gotong royong, kemandirian, nalar kritis, dan kreativitas. Ia berharap kegiatan ini menumbuhkan empati, nilai kebajikan, serta jiwa kerelawanan demi kemaslahatan bangsa.

“Melalui karya dan aksi nyata, kita membuktikan bahwa semangat Pancasila dapat hidup dan tumbuh di lingkungan sekolah,” ujarnya.

Jujun berharap melalui kegiatan ini peserta didik tidak hanya menunjukan kreatifitas dan inovasi tetapi juga menanamkan nilai kebajikan, empati dan semangat gotongroyong. terlebih dengan adanya penguatan relawan kebajikan pancasila.

“Kita ingin menumbuhkan jiwa kerelawanan yang tulus demi kemaslahatan masyarakat, bangsa dan negara. berterimakasih kepada seluruh pihak dan semoga ini menjadi langkah kecil yang membawa perubahan besar,” ungkap Jujun.

Di tempat yang sama, Prof. Dr. Muhammad Sabri, M.Ag., menekankan pentingnya membedakan antara “pertemuan” dan “perjumpaan.” Menurutnya, perjumpaan memiliki makna yang lebih dalam karena mengalirkan nilai-nilai kehidupan, salah satunya Pancasila.

“Pancasila bagi kita bukan sekadar percakapan filosofis, tetapi ruh kehidupan. Jika ruh ini tercerabut, kita sedang mengalami kematian sebagai bangsa,” ujarnya.

Prof. Sabri mengapresiasi model perjumpaan yang terjadi di forum tersebut, yang menurutnya merepresentasikan semangat Pancasila. Ia mengutip pidato Bung Karno pada 1 Juni 1945, yang menjelaskan Pancasila sebagai lima dasar negara. Bung Karno bahkan merumuskannya menjadi Trisila sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, dan sosio-religius dan memerasnya lagi menjadi Eka Sila, yaitu gotong royong.

Menurut Prof. Sabri, metode “pemerasan” yang dilakukan Bung Karno tidak menghilangkan nilai Pancasila, melainkan menyederhanakan kompleksitasnya. Sosio-nasionalisme mencakup kemanusiaan dan persatuan, sosio-demokrasi mencakup demokrasi politik dan ekonomi, sementara sosio-religius mewakili sila ketuhanan.

“Jika kita pahami, inti dari Pancasila adalah socio, yang dalam bahasa Latin berarti hangat, bersahabat, penuh kasih, dan cinta. Jadi, socio-nasionalisme, socio-demokrasi, maupun socio-religius pada hakikatnya adalah Cinta,” tegasnya.

Sementara itu, Dr. (Tr.) Agun Gunandjar Sudarsa, Bc.IP., M.Si., menambahkan bahwa kegiatan sosialisasi nilai-nilai Pancasila yang dihadiri sejumlah tokoh ini diajak untuk berkomitmen menjadi Relawan Kebajikan Pancasila demi memperkuat persatuan bangsa.

Anggota DPR RI tujuh periode, Agun Gunandjar Sudarsa, membagikan kilas balik sejarah pemekaran daerah, termasuk Pangandaran. Ia mengenang kondisi daerah ini sekitar sepuluh tahun lalu yang masih memiliki infrastruktur terbatas.

“Dulu jalan rusak parah, ban mobil saya sampai sobek tengah malam. Saya pernah berbincang di pinggir pantai, bahwa Pangandaran tidak akan maju jika tidak mekar. Warga harus ke Ciamis untuk urusan administrasi dan sering menginap di sana,” kenangnya.

Agun menyebut dirinya turut memimpin proses pemekaran Kabupaten Pangandaran dan Kota Banjar saat menjabat di Komisi II DPR RI.

“Saya yang mengetuk palu dalam sidang DPR saat itu,” tegasnya.

Agun juga menekankan bahwa seluruh rakyat Indonesia pasti tidak menginginkan korupsi, kemiskinan, pengangguran, dan ketidakadilan.

“Kita ingin hidup damai, sejahtera, adil, sukses, dan bahagia. Caranya adalah kembali kepada salam Pancasila,” ujarnya.

Ia mengajak peserta untuk merenungi makna “Salam Sukses Lima Jari”. Menurutnya, lima jari yang berbeda-beda melambangkan keberagaman suku dan pulau di Indonesia.

“Kalau kelima jari bersatu, menjadi kepalan, itu akan kuat dan tidak mudah goyah meski diterpa badai. Begitu juga Indonesia, akan kuat jika bersatu,” jelasnya.

Agun menutup pesannya dengan mengingatkan bahwa perpecahan adalah hal yang tidak dikehendaki Tuhan. “Dalam agama apa pun, perceraian itu diharamkan. Persatuan adalah kunci kekuatan bangsa,” pungkasnya.

Acara ditutup dengan penyerahan cenderamata dari BPIP kepada para narasumber sebagai bentuk apresiasi. Kegiatan ini diharapkan menjadi inspirasi generasi muda untuk mengaktualisasikan Pancasila dalam tindakan nyata di tengah masyarakat. (*)

Exit mobile version